Rabu, 10 Februari 2010

diterbitkan di majalah cerita kita : pelangi di senin pagi

Pelangi di Senin Pagi
Oleh R.E Ratri

Senin pagi hanya datang sekali dalam seminggu. Hanya pagi ini lah aku dapat memandangmu dengan sesuka hati. Sebagaimana senin pagi yang lainnya, aku senantiasa menanti kedatanganmu di kelas ini. Berharap agar kamu menyapaku, menyebut namaku atau paling tidak bertanya tentang tugas padaku. Kuliah ini akan terasa cepat berlalu bagiku, karena hanya pagi ini lah kita berada dalam kelas yang sama. Sudah hampir tiga tahun aku berada di kampus ini dan sudah hampir satu tahun ini aku selalu memerhatikanmu.
Tak ada yang istimewa dengan dirimu pada awalnya, justru kesan pendiam dan dingin yang muncul saat pertama kali aku berkenalan denganmu. Tapi satu saat kita dipertemukan dalam satu kelompok pada satu mata kuliah. Maka dari situ lah perasaan ini berawal. Dalam hati, aku selalu berharap agar Tuhan mau membuatku selalu dekat denganmu. Dan selama satu tahun ini, itu lah yang terjadi. Kamu dan aku semakin dekat, selalu bersama walau mungkin menurutmu tidak ada yang istimewa dengan kedekatan ini. Tapi tidak begitu denganku. Yah, aku menyayangi dia yang tidak menyayangiku. Bukan masalah besar untukku, bagiku dapat melihatmu setiap hari sudah merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.
Namanya Candra...dalam kamus latin artinya gemerlapan. Mungkin banyak orang yang tidak setuju dengan hal tersebut. Yah, dia adalah cowok yang jarang menunjukkan perhatian pada orang lain. Kata Marlin, sahabatku dia tidak pernah bisa empati terhadap orang lain. Cowok aneh yang tidak punya perasaan, begitu kata Ranisa, sahabatku yang lain. Namun, bagiku dia tetaplah Candra, yang memberikan cahaya padaku. Memberikanku semangat untuk selalu semangat kuliah walaupun sebenarnya kadang aku merasa malas. Seperti saat ini, dia memberiku semangat di senin pagi walaupun dia tidak dan mungkin tidak akan pernah menyadarinya.
Aku masih duduk di bangkuku, memandang ke arah pintu dengan setia menunggumu masuk ke dalam kelas. Tidak berapa lama kemudian, kamu datang. Dengan gayamu yang khas, masuk ke dalam kelas dengan santai. Aku sedikit berharap agar kamu mengambil tempat duduk di sampingku. Dan ternyata...thank’s God, kamu duduk di kursi kosong di sampingku. Seperti biasa, tanpa ada kata selamat pagi atau senyum padaku kamu langsung mengeluarkan bukumu. Ingin rasanya aku mengucapkan selamat pagi atau bertanya apalah sekedar untuk berbasa –basi denganmu.
Kamu memandang ke arah dosen yang sedang memulai kuliah, kemudian berpaling kepadaku. Bertanya mengenai apa yang menjadi tugas kami untuk hari ini. Tahukah kamu kalau saat itu juga aku merasa ada yang bergetar di hatiku? Aku pun menjawab sambil tersenyum, walau begitu kamu tak kunjung memberikan senyum selamat pagimu untukku. Yah, memang seperti itu lah kamu. Aku tak tahu apa yang membuatku selalu ingin dekat denganmu, padahal kamu hampir tidak pernah peduli padaku. Mungkin saat ini, seiring dengan pergantian semester dan kita hanya satu kelas pada satu mata kuliah kamu pun lupa bahwa semester kemarin pernah dekat dengan seorang cewek bernama Pelangi Matahati, yaitu aku...
Nama yang aneh mungkin, tapi begitu indah bila mengetahui filosofinya. Pelangi datang setelah hujan atau badai, memberikan warna – warni ke dunia. Membuat orang – orang yang bersedih tersenyum bila melihatnya. Maka aku pun ingin seperti pelangi...memberikan kebahagiaan pada semua orang dimana pun aku berada. Dan mudah – mudahan aku dapat menjadi seperti pelangi dalam menjalani hidup ini.
Aku berusaha berkonsentrasi pada apa yang dijelaskan oleh dosen, tapi rasanya aku tidak bisa fokus mendengarkan. Kepalaku seperti berdenging, terasa pusing sekali. Belakangan ini aku sering sekali mengalami hal ini, membuatku merasa benar – benar terganggu. Dengan segala kegiatanku di himpunan dan kegiatan sosial serta kuliah aku tidak ingin sakit kepala ini menghambat semuanya. Aku ingin menjadi pelangi... Kucoba menepis rasa sakit ini dan kembali berusaha mendengarkan kuliah pagi ini. Aku tak ingin orang lain mengetahui apa yang kurasakan. Sebelum kuliah berakhir, dosen meminta kami untuk membentuk kelompok untuk tugas akhir. Terima kasih Tuhan karena telah mengizinkanku untuk berada satu kelompok denganmu...

Namun, ternyata aku tidak sempat merasakan indahnya mengerjakan tugas kuliah bersamamu. Tuhan telah memilihkan jalan-Nya untukku. Saat itu...hari sabtu yang kelabu untukku. Saat itu aku sedang memimpin kegiatan bakti sosial di daerah kampung – kampung di sekitar kampus kita. Aku begitu bersemangat melakukannya, apalagi hari itu kamu pun ikut sebagai sukarelawan dari jurusan kita. Ketika sedang semangat membagi – bagikan barang sumbangan kepada masyarakat sekitar di bawah teriknya sinar matahari, aku merasakan kembali sakit di kepalaku. Kali ini lebih sakit dari sebelumnya, aku benar – benar tidak tahan lagi hingga akhirnya aku jatuh pingsan.
Selanjutnya yang kuingat, aku berada di kamar sebuah rumah sakit. Dan kenyataan yang kuterima kemudian benar – benar menghancurkan perasaanku. Ternyata sakit kepala yang selama ini kualami adalah radang selaput otak dan saat ini sudah mencapai stadium akut. Saat itu aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, satu – satunya yang bisa kulakukan hanya berserah diri pada-Nya. Keesokannya dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Orang tuaku tampak pasrah dengan apa pun yang akan terjadi, walau begitu mereka juga terlihat sangat sedih. Begitu juga dengan Marlin dan Ranisa, sahabat – sahabatku. Hal yang membuatku tetap bahagia saat itu adalah kamu pun hadir diantara mereka. Maka dengan kekuatan dari orang – orang terdekatku aku bersedia untuk dioperasi. Tapi...seperti yang kukatakan sebelumnya, Tuhan telah memilihkan jalan-Nya untukku. Nyawaku tidak berhasil diselamatkan...

Dan hari ini adalah hari senin pagi, seminggu setelah kepergianku. Aku duduk di bangku paling belakang yang aku yakin tidak akan mau diduki oleh mahasiswa. Seperti biasa aku menunggu kedatanganmu dengan setia. Aku tidak ingin disebut ‘gentayangan’ di kelas ini, karena aku toh sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu siapa pun. Tidak berapa lama kemudian, kamu datang. Masih dengan gaya yang sama yang aku rindukan selama ini. Kamu duduk tepat di kursi di hadapanku. Kamu pasti tidak tahu bahagianya aku saat ini.
Aku tidak tahu apakah kepergianku berpengaruh dalam hidupmu. Ah, aku rasa tidak. Aku bukan siapa – siapa untukmu, maka aku tidak seharusnya berharap begitu. Aku terus memerhatikan punggunggmu dari belakang. Hey! Kamu tidak mendengarkan penjelasan dari dosen. Ada apa denganmu, Can? Aku melihatmu mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu di sana. Aku penasaran ingin melihat apa yang kamu tulis, tidak mungkin catatan kuliah karena dosen ini selalu memberikan lay out slide bahan kuliahnya. Aku pun memutuskan untuk menunggu kuliah berakhir.
Ketika kuliah berakhir, aku melihatmu meninggalkan kertas itu di kursi yang kamu duduki sebelum meninggalkan ruang kelas ini. Aku mengambil kertas itu lalu membaca tulisan yang tertera di sana.

Untuk Pelangi...
Senin pagi ini berbeda dari biasanya, begitu juga dengan senin – senin pagi yang akan datang. Terasa ada yang hilang di kelas ini, namun aku masih bisa merasakan auramu di sini, begitu hangat dan dekat denganku. Seperti sedang memerhatikanku walau aku tahu itu tidak mungkin. Pelangi kamu memang seperti pelangi...di saat – saat terakhirmu pun kamu pergi ketika sedang menolong orang lain. Namun, kadang kamu lupa kalau pelangi pun bisa pudar, mengapa kamu memilih menanggung rasa sakit itu sendiri? Aku bodoh karena tidak sempat jujur padamu...Pelangi...aku merindukanmu...

1 komentar:

  1. Cerita yg sangat menyentuh, banyak hal yg bisa dipetik dari ini...

    BalasHapus