Rabu, 10 Februari 2010

Serial Aluna : catatan caramel coffee

catatan caramel coffee
by R.E Ratri

Aaarggh…!!!
Tau bagaimana rasanya ingin marah tapi tak pernah mampu untuk melampiaskannya?
Tau bagaimana rasanya menunggu tanpa ada kepastian?
Tau bagaimana rasanya mencinta tanpa pernah merasakan balasan dari cinta?
Tanyakan itu semua padaku. Maka aku akan menjawabnya dengan segenap hatiku.

Duduk di sebuah kafe, ditemani secangkir ice caramel coffee, Aluna berusaha mendinginkan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ahh, kenapa sih ia tak pernah bisa marah. Kenapa sih kekesalan terhadap laki-laki itu Cuma bisa ia pendam sendiri. Ia tau seharusnya ia mengatakan padanya. Tentang perasaannya…
Aluna merasa dirinya bagai bersembunyi di balik topeng peri. Ia selalu saja bisa membuat orang lain yang sedang muram kembali ceria. Ia mampu membalikkan hujan menjadi cerah bagi orang lain. Tapi ia tak pernah bisa menjadikan dirinya sendiri lepas dari segala badai perasaannya.
Aluna hanya ingin dicintai. Terlalu beratkah sarat itu? Berkali-kali ia mempertanyakannya pada sang pencipta. Sang pemberi hidup yang memberikan karunia padanya bagai seorang peri yang turun ke bumi. Sering kali dalam doa ia menyisipkan pertanyaan, Tuhan kenapa aku hanya bisa membuat orang lain bahagia tanpa bisa merasakan kebahagiaan untuk diriku sendiri?
Tau bagaimana caranya menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya ketika kamu berhadapan dengan orang lain? Tanyakan padaku, karna aku akan menjawabnya. Aluna selalu menyunggingkan senyum, menebarkan kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya. Padahal sesungguhnya hatinya tengah remuk karna kecewa.
Ia tak pernah meminta banyak, tak pernah ingin menuntut yang bukan haknya. Ia hanya ingin bahagia dengan segala yang ia miliki. Tapi entah kenapa kecewa selalu saja menghampirinya.
Makhluk itu, bernama laki-laki. Yang selalu membuat Aluna kecewa. Meninggalkannya tanpa ucapan selamat tinggal. Merengkuh keceriaannya kemudian mencampakkannya tanpa sedikit pun belas kasih. Aluna merenungi nasib…merasa dirinya menjadi perempuan yang paling bodoh di muka bumi ini.
Ia mengambil gelas ice caramel coffeenya. Kemudian menyesap sedikit demi sedikit cairan manis berwarna coklat melalui bibir mungil yang selalu membuat iri perempuan di sekitarnya. Hatinya kembali merasa damai, dingin karna campuran es yang menjalar sampai ke hati.

Di sudut lain, seorang laki-laki tengah memperhatikan Aluna. Sedari tadi tanpa sadar, Aluna tengah menjadi objek panca indera sang lelaki. Gadis itu telah membuatnya kagum. Segala keindahan fisik yang terpancar mampu membuat pandangannya tertuju padanya untuk sekian lama.
Siapa gerangan peri yang sedang memainkan batang sedotan dalam gelasnya itu? Mungkin selama ini tak pernah aku menyadari bahwa ada gadis seindah itu di sini. Di tempat yang selalu menjadi saksi kesendirianku, seperti saat ini. Sekali lagi aku ditinggalkan. Mereka semua, maksudku para gadis itu tak pernah satu pun ada yang tahan berlama-lama bersanding denganku.
Mereka semua takluk akan sikap egoisku sehingga memilih mundur teratur dan akhirnya menjauh dari kehidupanku. Sesungguhnya aku pun berusaha untuk memperbaiki segala kekuranganku. Namun tak pernah bisa aku menjadi manusia sempurna. Sekali waktu aku bertanya pada Nya, mengapa tak ada kesempatan bagiku untuk memiliki cinta yang abadi, cinta yang bisa menerima segala kekuranganku.
Tak pernah ingin aku menyalahkan sang pencipta, namun aku sudah mulai lelah. Lelah dalam pencarianku menemukan seseorang yang bisa menerima segala kekurangan dan mengubahku menjadi manusia yang lebih baik. Aku kembali jatuh cinta, hei apa ini cinta? Mungkin hanya kekaguman sesaat. Yah, aku tertawa dalam hati. Membayangkan akhir yang tak jauh berbeda dari kisah cintaku sebelumnya.
Masih terus memandanginya, aku ingin memastikan apakah masih ada cinta di balik kecewa yang selalu hinggap dalam diriku. Ahh, rasanya aku tak berhak mengharap atas keindahan itu. Keindahan dari gadis yang sedari tadi dipandanginya. Ditemani secangkir caramel latte ia hanya mampu menikmati dari jauh.

Cinta itu seperti kopi, pahit tapi dengan campuran gula atau cream maka ia akan menjadi manis. Aluna memandangi gelasnya yang sudah setengah kosong. Sepertinya hatinya yang juga kehilangan separuh. Masih kah ada lagi laki-laki yang akan mengisi separuh hatinya dengan pendar kebahagiaan?
Cukup sudah berharap atas hal yang bukan ditkdirkan untuknya. Aluna tau, ia tidak pernah berhak untuk bahagia atau kah sebenarnya ada skenario lain dari Nya, yang diciptakan khusus untuk Aluna?
Sesungguhnya ia membenci selalu berada di balik topeng peri. Ia juga manusia biasa, punya rasa amarah dan juga benci. Punya rasa cinta dan sayang. Ia mengucap janji dalam hati untuk tidak lagi membiarkan dirinya berkorban perasaan. Seperti yang selama ini dia lakukan dalam ikatan yang selalu membawa kecewa.

Fabian melihat gadis itu sudah akan beranjak dari tempat duduknya. Bagaimana ini? Haruskan aku menghampiri gadis itu? Ataukah aku biarkan saja kesempatan ini berlalu tanpa ada harapan untukku lebih bersemangat menjalani hari?
Peri, jangan pergi dulu. Aku belum lagi selesai menikmati keindahanmu. Serunya dalam hati. Namun tak pernah ia berani menyuarakan isi hatinya itu. Melalui tatapnnya ia mengantarkan kepergian sang peri.
Penyesalan selalu datang kemudian. Entah kapan ia bisa bertemu kembali dengan gadis itu. Mungkin jika Tuhan masih berbaik hati padanya maka ia akan kembali menemukannya. Dan jika Tuhan memberinya kesempatan itu, ia berjanji untuk tidak menyia-nyiaknnya.

Aluna setengah berlari di tengah rintik hujan yang mulai memainkan tarian alamnya. Ia melindungi kepalanya dengan payung sambil tergesa-gesa menuju tempat favoritnya. Seperti biasa, ia membutuhkan segelas caramel coffee dikala pekerjaannya memainkan suasananya hatinya.
Hujan semakin deras ketika ia sampai di tempat yang dituju. Seperti biasa, sore hari tempat ini tidak terlalu ramai. Namun Aluna melihat seorang laki-laki duduk sendirian di tempat yang biasa menjadi sudut favoritnya. Sebenarnya masih banyak kursi kosong yang bisa dipilih, hanya saja ia ingin berada di sana. Sungguh egois memang tapi tak mungkin ia mengusir pergi laki-laki itu. Ia memilih mengalah.

Fabian melihat gadis yang menyita pandangannya minggu lalu duduk tak jauh dari tempatnya. Ingin ia berteriak dalam hati memuji Tuhan yang telah mengabulkan doanya. Sepertinya janjinya tempo hari. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Terima kasih Tuhan, Kau lah pembuat skenario terbaik untuk film kehidupan.
Ia mengumpulkan segenap keberanian dan harapan yang ada dalam hati. Wajah gadis itu sedikit sendu. Ahh, apakah suasana hujan ini mempengaruhi hatinya? Semoga saja tidak. Aku mohon kembalilah tersenyum.
Denga memantapkan langkah fabian berdiri, mulai berjalan menuju sang peri yang tengah duduk memandangi suasana di luar jendela. Di tengah gemuruh suara jantungnya ia berdoa agar kehadirannya tidak mengusik ketenangannya.

“Hai….” Sapa fabian dengan kikuk.
Gadis itu hanya membalas dengan tatapannya. Fabian menunggu…sesaat tak ada reaksi. Oh tidak, ingin rasanya ia memilih untuk ditelan bumi.
“Boleh duduk?” Ia berusaha keras untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Jika gadis di hadapannya masih tidak bereaksi lebih baik ia berubah jadi kucing atau apapun juga. Demi menutupi rasa malu.
Aluna memandang laki-laki yang ada di hadapannya. Laki-laki yang saat ia datang menduduki singgasana favoritnya. Setelah sesaat berpikir, akhirnya ia menyunggingkan senyum padanya.
Dia tersenyum! Ah, terima kasih sekali lagi, Tuhan. Fabian langsung mengambil posisi di hadapan gadis itu.
“Hai…Aluna” gadis itu memberikan tangan kanannya.
“Fabian…”sambutnya dengan penuh suka cita.
Masih ada cinta jika kita percaya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar